ETIKA AKURASI INFORMASI DALAM BINGKAI ISLAM



ETIKA AKURASI INFORMASI DALAM BINGKAI ISLAM
(Herwiningsih)
Dalam setiap menit kehidupan pasti akan terjadi sebuah peristiwa tak terduga, baik di sekitar kita maupun di tempat yang tidak terjangkau sekalipun. Oleh karenanya kita membutuhkan sebuah media untuk menyajikan informasi yang dibutuhkan. Di situlah peran jurnalis mulai terlihat di dalam berbagai media massa. Yang mana media massa merupakan salah satu tempat terpercaya untuk menyajikan sebuah informasi. Mulai dari proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang telah terjadi. Sesuai dengan pengertian jurnalistik sebagai penyalur informasi melalui media massa. Maka harus mampu menyajikan informasi yang akurat dan terpercaya. Agar mampu diterima dengan baik oleh khalayak umum. Karena dalam dunia kejurnalistikan tak hanya kegiatan pers bebas. Melainkan di dalamnya juga terdapat kode etik yang harus dipatuhi diantaranya yaitu (1) berita diperoleh dengan jujur, (2) meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan sebelum disampaikan kepada khalayak umum, (3) mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang opini, (4) menghargai dan melindungi kedudukan sumber yang tidak ingin disebut namanya, (5) tidak memberikan berita yang off the record (four eyes only), (6) dengan jujur menyebutkan sumber dalam mengutip berita atau tulisan dari suatu surat kabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan profesi.
Dewasa ini etika-etika tersebut mulai luntur dan bahkan tidak digunakan lagi.  Itu karena dipengaruhi oleh beberapa hal.  Pertama, terlalu bebas dalam pengambilan informasi, hal itu dipengaruhi oleh bebasnya pers saat ini dalam pemberitaannya dibandingkan dengan masa orde baru. Yang mana jurnalis tidak memiliki ruang lingkup yanga luas untuk memberitakan hal tertentu. Semisal jurnalis tidak boleh memberitakan tentang pemerintahan. Namun sekarang hal tersebut sudah tak berlaku kembali. Karena pers telah diberi kebebasan untuk menyampaikan berbagai informasi. Sehingga jurnalispun kini bebas dalam memberitakan kegiatan pemerintah. Namun dengan kebebasan itu pers juga mulai meninggalkan hak asasi manusia dalam pengemasan berita yang disampaikannya.
Kedua , penuh rekayasa, hal ini dipengaruhi untuk mengisi keragaman berita. Sehingga dalam keragaman itu banyak berita yang tercampuri opini. selain itu disebabkan kurangnya informasi yang didapat dan hanya sebagai bentuk pencarian sensasi public. Ketiga, kepentingan politik, yang mana didalamnya hanya terdapat peran seorang politisi untuk menjatuhkan lawan atau untuk mencari dukungan dari khalayak untuk mencapai kepentingannya. Di sini jurnalis diminta untuk berserikat di dalamnya agar suatu kelompok terlihat lebih kuat.
 Keempat, sifat sekterian (berpihak terhadap golongan tertentu), itu disebabkan adanya kebencian terhadap golongan tertentu. Misalnya yang terjadi dalam pers barat yang terlihat bias (menyimpang dan berat sebelah) distotif, manipulatif dan mengada-ngada untuk memojokkan islam yang notabenenya agama yang tidak disukai oleh mereka. Sehingga dalam pemeberitaannya seolah islam agama yang menyimpang dengan moral kemanusiaan.
 Hal di atas sudah tak dapat dipungkiri lagi, namun sebagai penerus bangsa dan sebagai junalis pemula saatnya mengubah kebiasaan buruk tersebut sesuai dengan dalih-dalih dalam kitab suci agama islam dan undang-undang negara bahwa seorang jurnalis haruslah memiliki karakter seperti Nabi. Yang  mana jurnalis harus memiliki empat karakter pokok yakni Al-shidq (jujur) dalam berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan. Amanah  (terpercaya), maka jurnalis dilarang merekayasa, memanipulasi atau mendistorsi fakta. Sehingga berita yang disampaikan tidak menyebabkan fitnah dan menyimpang dari hak asasi manusia. Maka dari itu wartawan dituntut untuk meneliti kembali (chek richek) berita yang didapatkannya. Agar tidak terjadi kebohongan, gosib, fitnah, dan adu domba.
“ Wahai orang-orang yang beriman jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu”(Al-Hujurat: 6)
Tabligh (menyampaikan), yang mana jurnalis hanya diharapkan untuk menginformasikan kebenaran, bukan malah memutar balikkan kebenaran atau mencampuri berita dengan kepentingan pribadi. Karena khalayak hanya membutuhkan fakta bukan opini dari jurnalis. Fathonah (cerdas) dan berwawasan luas. Jurnalis dituntut mampu menganalisis dan membaca situasi,  termasuk membaca apa yang diperlukan oleh khalayak. Disamping itu jurnalis harus memiliki peranan diantaranya dalam ranah praktis, jurnalis juga dituntut memiliki kemampuan teknis dan etis sebagaimana dituntunkan dalam Qur’an. Yakni dalam pencarian informasi, pengolahan, hingga dalam penyampaiannya.
“Atau siapakah yang menciptakan (manusia dari permulaannya), kemudian mengulanginya (lagi), dan siapa (pula) yang memberikan rezki kepadamu dari langit dan bumi? Apakah di samping Allah ada Tuhan (yang lain)? Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar”. (An-Naml: 64).
Dalam prakteknya wartawan dilarang berserikat dengan suatu golongan. Dan harus akurat dalam menyampaikan berita-beritanya. Tak hanya terbatas kepada wartawan, pesan dalam Al-Quran tersebut juga ditujukan kepada seluruh pembaca untuk berhati-hati dalam menerima informasi.
            Sedangkan untuk kebebasan pers dalam mencari berita merupakan hal yang tidak dielakkan lagi. Asalkan  kebebasan itu masih dalam ranah etika penyampaian berita yang akurat. Dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya. Keadilan juga diperlukan dalam pers, karena pemberitaan yang condong terhadap satu pihak akan menyebabkan sebuah ketimpangan.
“ Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”. (An’am: 152)
            Maka dari itu seorang jurnalis sebagai penyalur informasi terhadap khalayak umum haruslah  sesuai dengan kode etik kejurnalisan yang jujur, meneliti kebenaran sesuai dengan fakta yang didapat sebelum disampaikan pada khalayak, menghargai dan melindungi sumber, tidak memberikan berita yang off the record, dan setiakawan tehadap profesi yang diembannya. Namun dewasa ini karena kebebasan pers menyebabkan lunturnya etika akurasi. Yang mana media massa hanya digunakan sebagai kepentingan perseorangan. Berita yang disampaikan mengakibatkan banyak berita penuh rekayasa, dan lebih banyak berperilaku sekterian (berpihak pada golongan tertentu) dalam menyajikan informasi. Melihat hal itu berita yang diterima khalayak tidak akurat bahkan bersifat fiktif. Oleh karenanya kejurnalistikan haruslah memenuhi etika akurasi dalam ketentuan undang-undang. Selain itu jurnalis juga harus memiliki sifat shidiq, amanah, tabligh, fathonah. Dan dalam mendapatkan berita haruslah diuji kebenarannya/ diteliti (chek richek) sesuai dengan dalih dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 6, dan berlaku adil. Dengan demikian perspektif masyarakat akan berubah. Dan akan menaruh kepercayaannya kembali. Bahkan juga akan meminimalisir perhelatan antar golongan yang memiliki pertikaian. Selain itu jurnalis mampu menjadi kontruksi sosial terhadap ketimpangan masyarakat, juga akan hilangnya rasa deskriminasi.

HERWININGSIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram