Peran Sastra dalam Pembentukan Negara Indonesia



Berbincang soal sastra merupakan menu spesial di dalam konteks budaya Indonesia yang mulai menghilang dari permukaan. Mengenali sastra merupakan salah satu hal yang perlu ditumbuhkan kembali dalam jiwa generasi muda sebagai penerus bangsa. Disamping sebagai bentuk keindahan dan kreatifitas, sastra juga merupakan bentuk kekayaan Indonesia yang perlu dilindungi dan dipertahankan.
Sastra merupakan sebuah kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra hakikatnya adalah dunia rekaan (baca: fiktif). Ia frasa atau kalimat yang berbalut dengan imajinatif dan estetis. Sastra mengandung intensi, baik berupa pikiran, perasaan, pandangan, gagasan atau segenab pengalaman kejiwaan. Sehingga tidak heran lagi bahwa dalam bentuk berbagai karya sastra kita akan menemukan bentuk pemikiran yang menggambarkan realita kehidupan atau pengalaman perasaan seseorang. Selain keindahan, sastra juga mengandung pesan-pesan baik yang dapat diambil pelajarannya. Sesuai dengan pengertian sastra yang diambil dari bahasa sansekerta yaitu su dan sastra, su berarti estetik yang mana merupakan unsur keindahan untuk bisa dinikmati dan menghibur pembaca, dan sastra yang berarti pesan atau isi.
Bangsa ini mulai mengenal sastra sejak zaman kerajaan. Yang mana pelopori oleh kerajaan Majapahit yang memiliki kekuasaan besar di nusantara. Di masa kerajaan inilah sastra berkembang pesat. Hal tersebut terlihat dari banyaknya karangan yang dilahirkan oleh sastrawan di masa itu. Salah satu sastrawan di masa kerajaan Majapahit ialah  Empu Prapanca dengan buku karangannya yang luar biasa “ Negara kertagama” yang menceritakan tentang kerajaan Majapahit dan negara-negara yang ditaklukkannya.
Keberadaan sastra yang tumbuh sejak masa kerajaan itulah yang menjadikannya sebagai salah satu budaya seni milik indonesia. Sehingga dengan adanya sastra juga dijadikan sebagai media penyebaran agama islam di Indonesia. Salah satunya yaitu Raden Sa’id (baca: sunan Kalijaga) dengan syairnya “ Lir-Lir” yang menceritakan rukun islam. Disusul pula oleh para penyebar agama islam yang lain. Sehingga dengan kreatifitas para penyebar agama islam itulah islam mampu diterima dengan baik oleh bangsa Indonesia yang merupakan penikmat satra. Maka sampai saat ini media satra masih seringkali digunakan oleh penganut agama islam Indonesia dalam beberapa kegiatan keagamaan.
Tidak sebatas pada masa kerajaan dan masuknya islam ke Indonesia. Sastra semakin memperlihatkan eksistensinya di masa kolonial Belanda. Yakni dengan lahirnya pujangga-pujangga baru yang menggugah semangat bangsa Indonesia. Masa ini dimulai dari periode balai pustaka, sampai periode 2000-an – sekarang yang lebih dikenal dengan cyber sastra, yaitu sastra yang beredar luas di dunia cyber atau internet.
Selain keindahan, sastra juga dapat dijadikan media penyampai aspirasi seseorang terhadap keadaan yang terjadi. Seperti kita lihat dari karya puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar, WS. Rendra, sampai periode Emha Ainun Najib, dan Musthafa Bisri merupakan bentuk aspirasi yang diungkapkan untuk menanggapi realita yang tengah terjadi melalui sajak-sajak indah puisi. Melihat dari perkembangan sastra Indonesia dari masa ke masa itu memberikan wacana pada kita. Bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya akan keindahan sastra.
Namun sayangnya di periode Cyber Sastra, sastra Indonesia bukan semakin berkembang baik. Melainkan semakin tenggelam di tengah kepelikan kehidupan politik-ekonomi Indonesia. Bangsa Indonesia sudah tak lagi menaruh perhatian terhadap sastra. bahkan mereka enggan untuk membacanya, apalagi untuk menulisnya. Hal tersebut bukan sekedar wacana, melainkan realita yang terjadi pada sebagian budaya Indonesia yang mulai hilang. Pemuda Indonesia adalah pemeran terbesar dalam tenggelamnya sastra.. Mereka lebih sibuk memajukan budaya asing disbanding untuk memajukan dan melindungi budaya negeri sendiri. 
Hal di atas merupakan masalah besar bagi bangsa indonesia. Karena dengan hilangya sastra sama halnya kita kehilangan akar dari terbentuknya negeri ini. Sebagai bangsa Indonesia  sudah menjadi keharusan untuk menggali kembali budaya sastra yang mulai hilang. Dengan mengenali sastra kembali merupakan salah satu bentuk menghargai bangsa Indonesia. Jika pada masa kerajaan tidak yang  menulis sastra. Maka  kita tidak akan mengenal motto negara “ Bhineka Tunggal Ika” yang dijelaskan dalam kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular. Dan idiologi negara yakni “ Pancasila” yang tertuang dalam kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Empu yang di dalamnya menjelaskan tentang terbentuknya sebuah negara. Sehingga dengan adanya kedua kitab sakti itulah negara kita mampu memiliki motto dan idiologi tiada tandingannya.
Di samping itu setara dengan makna sastra yakni keindahan dan moral, Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjug tinggi moral bangsanya. Sehingga tak dapat dielakkan bahwa hubungan sastra dengan Indonesia merupakan hubungan yang sulit dipisahkan.
            Dari beberapa hal di atas kita dapat mengetahui makna sastra yang hakikatnya adalah dunia rekaan  (baca: fiktif). Sastra mengandung intensi, baik berupa pikiran, perasaan, pandangan, gagasan atau segenab pengalaman kejiwaan. Yang mana hal tersebut dapat mempengaruhi perasaan dan kejiwaan orang yang membacanya. Selain keindahan sastra juga mengandung pesan-pesan moral yang dapat diambil pelajarannya. Dan bangsa Indonesia mulai mengenalnya sejak zaman kerajaan. Dengan salah satu kerajaan besar (baca: Majapahit) yang telah mencipakan karya-karya luar biasa. Yang kemudian disusul oleh para penyebar agama islam yang masuk ke Indonesia. Salah satunya Raden Sa’id (baca: sunan kalijaga) dalam syairnya yang berjudul “Lir-Lir” yang menceritakan tentang rukun islam. Berlanjut pula pada masa kolonial Belanda sastra semakin memperlihatkan eksistensinya dengan datangnya pujangga-pujangga yang menggugah semangat bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Mulai dari periode balai pustaka sastra Indonesia semakin berkembang dari periode ke periode. Sehingga sampailah pada periode sekarang yakni periode cyber sastra.
Namun sayangnya di periode cyber sastra, sastra semakin terpuruk. Itu disebabkan ketidak pedulian bangsa Indonesia terhadap sastra. Dalam hal ini pemeran terbesar atas hilangnya sastra adalah para pemuda. Mereka lebih mengedepankan budaya asing dibandingkan untuk memajukan budayanya sendiri. Hal merupakan masalah besar bagi bangsa ini. Karena hilangya sastra sama dengan kehilangan akar bangsa ini. Maka sebagai bangsa Indonesia  sudah menjadi keharusan untuk menggali kembali budaya sastra yang mulai hilang agar dapat kembali dinikmati.
Jika pada masa kerajaan tak ada yang menulis sastra maka kita tidak akan mengenal motto negara “ Bhineka Tunggal Ika” yang dijelaskan dalam sebuah kitab Sutasoma karangan Empu Tantular. Dan dasar negara kita “ Pancasila” yang tertuang dalam kitab karangan sastrawan Majapahit Empu Prapanca dalam kitab Kertagama. Yang mana di dalamnya menjelaskan terbentuknya sebuah negara. Sehingga dengan adanya kedua kitab sakti itulah negara kita mampu memiliki landasan yanga tiada tandingannya. Dan sesuai dengan makna keindahan dan moral, seperti itu pulalah bangsa Indonesia. Yang mana negaraIndonesia merupakan negara yang sangat menjunjug tinggi moral bangsanya. Sehingga tak dapat dielakkan bahwa hubungan sastra dengan Indonesia merupakan hubungan yang sulit dipisahkan.

HERWININGSIH

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  3. Gimana, tulisan ini jadi diikutsertakan lomba, win?

    BalasHapus
  4. endak pak, makanya saya posting di sini

    BalasHapus

Instagram