Labirin

Part 1
“Ara...” Dengan terbirit-birit aku menghampiri di mana suara itu terdengar. Berdiri tepat di depanku kakak lelakiku yang tengah terhuyung-huyung membawa sekardus besar yang akupun tak tau apa isinya.
“ Ewangi cepet!” napasnya mulai terengah-engah membuatku dengan cekatan menghampirinya dan membantunya. Dengan tertawa ringan aku nyeletuk, yang jelas dengan pasang muka usil dan jengkelin “ Lagian ra iso gowo kok sok sok an”. “ Wes to, gak usah berisik. Taruh sana!” aku ikuti arah telunjuknya yang mengarah ke depan Televisi. Dengan malas, ditambah pula aku terhuyung aku meletakkannya dengan segera ke tempat yang dia minta. “ Beh, abot”, aku membuang napas lega atas beban yang ku bawa selama lima belas detik itu. Sekaligus mengusap peluhku kasar. Yang sebenarnya tak setitikpun peluh yang keluar. Ya, biar ketok waw gitu lah. Ya sejak kita berdua ditinggal oleh ibuk empat puluh hari yang lalu, aku hanya tinggal berdua dengan kakak keduaku di sebuah rumah sederhana di tengah desa yang jauh dari keramaian kota. Sepi, sunyi, dan menenangkan. Kendaraan yang berlalu lalangpun hanya bisa dihitung dengan jari. Karena terlalu jarangnya orang memakai kendaraan. Pengecualian pagi hari, jalanan kampung akan terdengar begitu berisik dengan rombongan anak sekolahan. Selepasnya desa kita akan sunyi kembali. Dan itu yang aku suka. “ Dari kecil kerjaanmu bacaaa terus, ra!" Suara kakak memecahkan keheningan sekaligus mengusik kenikmatanku membaca sebuah buku berjudul "Bapak" yang baru aku beli seminggu yang lalu dari salah seorang perempuan hebat dari pulau garam. " Yo wes to, ini kan hobi!"  Jawabku santai. " Hemmm ya ya, emang dari kecil suka baca ya", kakak masih belum berhenti berbicara "Segala macam tulisan dibaca". Ku lihat dia tengah sibuk dengan isi kardus yang aku letakkan sesui perintahnya tadi. Yang baru aku tahu kalau isinya ternyata sepasang sound sistem. Ah kakakku membeli sound sistem yang pastinya akan diputarnya keras-keras nantinya. Yang pastinya akn merenggut kesunyianku. Ah kakak, nyebelin kan... Aku memilih tak menghiraukannya dan kembali menekuri buku yang sedang aku baca. Tapi sayangnya lamunanku jatuh pada masa laluku. Masa di mana aku masih menjadi seorang anak kecil yang sering terkena dampratan dari ibuk. Karena aku yang sering memungut sampah bekas bungkus nasi di jalanan. Aku melakukannya bukan tanpa alasan. Aku melakukannya karena sampah itu berupa koran bekas dan rasa penasaranku selalu hinggap untuk membacanya. " Aduh Ara, buang to. Iku sampah nak", dengan cekatan ibu merampasnya dari tanganku. " Ah ibuk", hatiku meranggas karena ibuk melarangku membaca bekas koran. Matakupun mulai berkaca-kaca. Melihatku dengan suasana hati yang berubah, ibuk mengeluarkan jajan kesukaanku dan memberikannya kepadaku. " Itu ada tulisannya kan nduk?" Ibuk tersenyum melihatku yang sudah kegirangan. Hemm, pantas saja aku begitu. Itu karena ibuk tidak mampu membelikan buku cerita layaknya teman-temanku. Bisa sekolah saja sudah syukur. Walaupun setiap sekolah aku tidak dikasih uang saku. Sekolahpun aku hanya bisa sekolah dengan gratisan. Biayanya cuma prestasi akademis. Setiap waktuku aku habiskan dengan belajar mati-matian untuk bisa mempertahankan prestasi. Ya, itu karena aku hanya bisa membaca buku-buku pelajaran. Dan pengetahuanku hanya sebatas mata pelajaran. Yang sejujurnya sering membuatku migran. Heheu *** Hay guys ketemu lagi sama author amatir nih. Mohon dukungannya yaaa... Coz cerita ini dibuat untuk tugas sarkat heheu 😁

HERWININGSIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram