Duga dalam Fatamorgana


            Baju lusuh itu masih menggantung pada paku yang tertancap di dinding kamar. Baunya menyengat menyisakan gelagat perjuangan. Akupun tersedak masa, berputar haluan menuju waktu silam. Kenanganku dengannya laksana angin yang meniupkan kesejukan. Lembut katanya, gemulai geriknya, bijak perangainya, mantap pemikirannya. Desah nafasnya masih terdengar di telinga, yang kadang tersengal dan kadang lancar. Lidahku kelu saat aku harus mengucap namamu. Kau terlalu indah untuk ku tatap dan ku bayangkan. Aku tersipu malu akan kelakuanku yang tak sesuai harapanmu. Gambarmu seolah waspada mengintai gerikku. Aku ingin lari, kau tetap menatapku. Sekiannya kau menatapku seolah muncul kegeraman dalam gambarmu.

            Umurku belumlah dapat ku katakan dewasa, kekanakanku melampaui batas. Wajahku penuh tipuan.
“ Ibu beli sayur kangkungnya satu ikat” tembungku
“ Iya nak” tak sampai lima menit, seikat kangkungpun berpindah tangan.
“ Pintarnya, masih bocah sudah berani berbelanja ke pasar” aku mengernyitkan dahi membentuk garis-garis lurus vertikal, aku cukupkan mengulum senyum.
“ SMP kelas berapa sayang?” akhirnya aku memekik tawa ringan.
“ Nampaknya saya kelas berapa ibu? Alhamdulillah saya masih duduk di Perguruan Tinggi semester 7” jawabku ringan
“ Semester 7? Saya tak percaya, jangan bercanda” ujar si penjual sayur.
Sekelebat kemudian muncullah kawanku yang tak bukan tetangga si penjual sayur.
“ Widia? Berbelanja apa?” tukasnya
“ Seikat kangkung, hendak tumis kangkung aku”
Si penjual sayur tak berkedip menatap kami yang tengah bercengkrama hangat layaknya kawan yang lama tak berjumpa. Iapun beranikan diri menyela sederet pembicaraan kami.
“ Rika apa benar gadis cantik nan imut ini sudah duduk di perguruan tinggi?”
Rika menatapnya lekat-lekat dan mengulum senyum “ Benar ibu, Widia ini memang sudah kuliyah. Namun wajahnya saja yang tak mendukung menjadi mahasiswa. Masih saja menetap pada wajah yang menggemaskan tangan orang yang menatapnya”
“ Tak apalah, itu namanya awet muda” pekikku ringan yang pada akhirnya akupun berpisah dengan Rika.
Ku tatap langit yang mulai menghitam, pertanda akan turunnya hujan. Dengan sekilat langkah akupun bertandang meninggalkan pasar. Tak peduli lagi dengan orang yang bergerumun heboh di balik lapak-lapak bakul.
            Aku lemparkan pandanganku jauh menyeberangi cendela rumah, mataku berhenti pada sosok lelaki yang selalu mengingatkanku pada pemilik baju lusuh yang tergantung di rumahku. Ku lihat ia melangkah mendekati pintu rumah “ Assalamu’alaikum”
“ Wa’alaikum salam”
“ Widia kapan pulang?” lelaki itu berucap sembari menyebrangi pintu.
“ Pulang dari mana pak de? Widia tak kemana-mana”
“ Lho, pondok...”
“ Pak de mulai lupa ternyata, sejak ayah tiada kan Widia tak lagi kembali ke pondok
“ Ya tuhan Pak de lupa, maklum tak lagi muda”
“ Tapi masih nampak muda kok pak de”
“ Hush...” tawa kamipun pecah. Kitapun berbincang hangat sembari menyeruput teh hangat dengan sepiring pisang goreng. Tiada disangka ditengah perbincangan Pak de melempar pertanyaan yang membuatku menghentikan kunyahan pisang goreng yang terperangkap di mulutku. “ Kapan menikah?”
Aku tersenyum “ Pak de ini, mau menikah dengan siapa?”
“ Sama lelaki yang berani datang mengetuk pintu rumahmu, dan meminangmu untuk menjadi pendamping hidupmu”
“ Belum, pak de”
“ Belum apa?”
“ Belum ada, juga belum siap pak de. Masih ingin menyelesaikan studi dan meraih mimpi”
Tempat itupun hening, percakapan kitapun terhenti. Yang tepatnya, pertemuan kitapun berakhir. Ku tatap wajahnya yang tak lagi kencang, goresan diwajahnya semakin terlihat jelas. Air mukanya tak berbeda dengan lelakiku yang telah tiada. Yang sekian meninggalkanku dan tiada pernah kembali.
***
            Duga, dalam sekiannya aku menduga akan fatamorgana yang tersaji di hadapan mata. Sejuk memikat dalam dada, hingga tiada terasa akupun jatuh dalam liang dusta. Siapakah gerangan orang yang aku rindukan, yang akan datang di masa depan. Berada di sisiku, menggenggam tanganku, dan mengusap air mataku. Perih terasa hati ini, lagi-lagi aku tersedak masa silam. Masa kelam yang dengan yakin aku hendak melemparnya jauh menyebrangi samudera. Bermula dari bercanda para kawan, rasa yang tiada ku duga hadir mewarnai hidupku. Hatiku berubah bak taman bunga yang mekar mewangi. Adakah rencana saat ku bertemu dengannya? Nyaris tiada kunci yang ku berikan padanya. Semua berjalan seiring arus deras dan arum jeram. Semua berjalan menggemaskan, sebut saja lelaki itu Misbah. Yang telah mampu menjeratku dalam dangkalnya pandangan. Hariku terpanah pada satu titik yang selalu mengarahkanku pada air muka dan gerik tubuhnya. Ah sungguh aku merasa gila dalam sekian waktu. Hampir semua hariku hanyalah terisi olehnya. Lelaki yang hanya menjadi duga dalam hidup. Tanpa ada kejelasan yang meyakinkan, namun aku yakin. Yakin bahwa dialah yang akan menjadi kawan hidupku. Dengan melihat sosoknya yang nyaris sempurna dengan ilmu yang dimilikinya. Sungguh memikat hati, ditambah dengan air muka yang tiada pernah bermuram dan kelembutan tuturnya membuatku semakin hanyut.
“ Widia jangan tidur terlalu malam” desahnya sesaat berjumpa sekelebat di depan teras masjid. Mataku tak mampu terpejam menatapnya yang terus melangkah.
            Sekiannya aku terhanyut namun aku hanya dapat menemuinya dalam diam dan doa. Tiada pernah aku mengucap kata akan rasa yang bertengger di hati. Hingga pada puncaknya aku harus mengulum senyum di tengah derasnya air mata yang tiada dapat ku bendung. Aku tenggelam dan tiada lagi dapat kembali kepermukaan. Undangan penuh cinta itu menamparku dengan sekian durinya. Aku terkapar dalam diam, seperti diamku saat menahan dugaku padanya.
“ Widia dapat undangan dari Misbah kan? Barengan ya ke pernikahannya” ucap Rika, tanganku meremas geram. Aku hirup nafas dalam-dalam “ Iya, rik”
            Ku tatap langit lekat-lekat, ku rasa langit itu runtuh menghantamku. Mukaku bermuram durja, hatiku perih teriris duri cinta. Ah cinta, dan sepertinya bukanlah cinta, semua terasa begitu pelik. Aku lebih mencocokkannya adalah nafsu, nafsu yang telah membelenggu hatiku. Hingga aku tak sadar tenggelam dan terhantam karang terombang-ambing bersama ombak di lautan.
“ Cinta adalah satu hal yang begitu indah, dia tiada syarat untuk dimiliki oleh siapapun. Juga tiada menuntut pada penikmatnya. Kau cinta karena pintar, tampan, kaya, dan derajat? Itu bukan cinta, namun nafsu. Kau sakit saat ia tak jadi milikmu? Jelas sekali itu nafsu” ku dengar sepatah demi patah kata yang terucap dari pidato seorang inspirator.
Sungguh menggemaskan, seolah tiada hari lagi bila ku tak bersamanya. Sungguh bulsheet kau setan, betapa kau pandai membuatku tertipu daya hingga diriku tak lagi mampu tertawa menyambut hari-hari indah. Kau buat diriku setengah gila.
            Belumlah tangguh jika ku tak mampu melawanmu dan mencabuti duri yang kau taburkan di hatiku. Tak butuh waktu lama aku mencabut duri-duri itu. hanya dua tahun aku cukupkan menghentikan tangisan durja dari sembilu. Dan akupun bertepuk tangan mengucap selamat pada diriku sendiri yang telah mampu membinasakan jeruji-jeruji nafsu.
“ Hayooo, ngapain tersenyum sendiri?” Fahma mengejutkanku
“ Ah, tidak. Cuma mengingat masa silam”
“ Hemm, masa silam. Ditanyain Azka tu... neng” aku tak menghiraukan Fahma yang sering menggodaku. “ Heh, tak percaya?” aku menggeleng
“ Oh my god” Fahma menepuk dahinya “ I’m serius Widia”
Lalu aku harus berkata apa?”
“ Ah, up to you” Fahma merengut. Dan tiba-tiba membenahi duduknya semakin dekat pada Widia.
“ Sebentar-sebentar, nampaknya kau suka ah lebih dari suka pada Azka”
“ Hilangkan kebiasaan menebakmu kawan, biar tidak jadi gosib” aku lemparkan pandanganku jauh ke segala penjuru arah. Fahma mendesah lesu dan menyambar snackku.
***
            Hembusan angin menampar wajahku yang mulai lusuh dan kusam terlapisi debu udara. Aku duduk termangu di halte bus menantikan angkutan menghampiriku. Tepat di mataku berhentilah sebuah motor mio. Aku angkat setengah kepala.
“ Widia, mau kemana?” tanya seorang pria dengan membuka kaca helm.
“ Pulang” jawabku ringan
“ Saya hendak ke kampusmu, ada seseorang yang mau saya temui”
“ Oh silahkan, teman-teman masih banyak yang masih tinggal di kampus”
“ Kamu terburu?” Aku semakin kikuk. “ Tidakkah menunggu saya sampai pulang”
“ I’m sorry saya tidak bisa, saya harus segera pulang”
Naiklah diriku ke angkutan yang berhenti di depanku. Pikiranku menerawang dalam lembah kesilaman. Di mana aku juga kembali menaruh dugaan kepada yang tak semestinya. Aku semakin merasa hina. Namun tiada dapat ku menolak rasa yang berkobar dalam jiwa. Yang masih saja aku menaruh pertanyaan. Apakah ini nafsu? Tak mampu aku memberikan jawaban pasti. Aku hanya dapat kembali diam seperti mula aku menaruh duga pada Misbah. Sebut saja ia Hilman, sosok penuh karisma yang menjadi khayalan dalam hariku. Semakin waspadalah diriku, tak mau lagi kembali dalam lembah curam penuh duri. Tetap aku hanya dapat menyingkap tabir dalam doa. Dan tiada disangka duga itu fatamorgana layaknya saat kepada Misbah. Sakit? Tidak sesakit yang semula. Selama apa menghentikan sakit itu? tidak lebih dari satu jam. Bahkan kebahagiaanlah yang menyeringai hatiku.
“ Selamat ya, semoga menjadi keluarga bahagia dunia akhirat” ucapku mudah. Hilman tersenyum bahagia. Lagi-lagi karena tiada tau bahwa aku menduganya selama ini.
“ Mbak turun di mana?” suara supir angkot mengejutkanku.
“ Masjid depan itu, pak”
            Terdengar ponselku berdering “Kring...kring...kring” “ Ya hallo assalamualaikum, ada apa Muh?” “ Maaf ya aku baru sampai, aku tak bisa kembali ke kampus. Ada urusan lain, sampaikan maaf saya pada Azka” aku tutup ponselku. Aku angkat kepalaku menghadap langit. Aku hirup dalam-dalam udara segar bercampur harumnya bunga mawar. Aku membuang nafas “ Sejatinya tak dapat ku pungkiri bahwa aku juga menaruh duga padamu, sekiannya aku kembali menaruh duga. Sebab duga-duga yang selalu menjadi fatamorgana. Diriku semakin ciyut dan berusaha keras menghilangkan duga itu. menghindarimu adalah satu alasanku agar aku selalu terjaga dari duga fatamorgana yang pada akhirnya akan menjadi dusta yang pahit. Biarkanlah ku temuimu dalam rangkaian doa yang senantiasa aku panjatkan pada penciptaku. Jika andai kau menaruh duga yang sama semoga kau mampu merengkuhku lewat rangkaian doa yang sama”
“ Widia, ngapain masih bengong? Kesambet lo?”
“ Ah pak de!”
“ Kamu memang benar-benar kesambet”
“ Kesambet gimana, aku baik-baik saja pak de!”
“ Kesambet cinta!” aku mengulum senyum simpul pada lelaki tua yang selalu penuh canda.
            Mataharipun mulai bersembunyi “ Azka mohon maaf dari Widia dia tak dapat ke kampus” Muhammad menyampaikan.
“ Ah iya, sebenarnya...” belum selesai berucap Azka terdiam.
“ Sebenarnya apa?” Muhammad penasaran
“ Tak jadi” Azka kembali terdiam dan termenung sejenak “ Sebenarnya aku ingin menenemuimu Widia, namun sepertinya air mukamu berkata tidak padaku. Sepertinya aku cukupkan dalam diam semata. Dan selalu aku temui dirimu dalam rangkaian doa-doaku. Dan biarlah tuhan yang menguak segala yang terbaik”
“ Wah melamun!”
“ Ah tidak”
“ Mungkin Widia juga mau siap-siap untuk pindahan. Aku dengar dia ingin cari suasana baru di Istanbul Turki, negara idamannya sembari meneruskan studinya” jelas Muhammad
“ Selamanya?” tanpa sadar Azka berucap.
“ Sepertinya tidak, Cuma beberapa tahun. Studi selesai paling juga balik lagi”
Azka mengangguk. “ Sudah sore, saya permisi ya. Saya juga berterimakasih selama ini teman-teman sudah menerima baik saya di sini. Selain berpamitan pulang, saya juga berpamitan bahwa saya minggu depan juga mau menyelesaikan studi saya di Jerman”
“ Sebentar sekali? Okelah hati-hati Azka semoga sukses”
***


            

HERWININGSIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram