Kebebasan




Mulai terasa dalam jiwa yang diam rasa takut yang mulai mencekam
Terselip rasa gelisah dalam kalbu yang membungkam
Terdengar gemuruh nestapa yang tersirat dan bersemayam begitu dalam
Tergores luka sayu yang mencengkeram tiada tara
Menyibakkan setitik lara penuh duka
Menyisipkan seuntai harapan penuh makna
Dan mengukirkan nama dalam setiap doa
            Tak akan pernah ada seorangpun yang menginginkan sebuah kesedihan, dan tak kan pernah ada seorangpun berharap akan kesulitan. Saat semua terukir di sebuah buku ketetapan, tak seorangpun yang mampu lari dari keharibaan tuhan. Saat kau dalam kesenangan kau lupakan tuhan seolah kau tak membutuhkannya. Dan saat kesedihan menemuimu kau menjerit, meratap menghadap kepada-Nya. Oh tuhan sedemikian sampainya hati seorang hamba-Mu.
            Tiara sapaan akrabnya, gadis berkaca mata nan elok parasnya serta anggun perangainya. Gadis yang terlahir dari keluarga terpandang dan disegani kebanyakan orang di desanya dan merupakan cucu kesayangan pemilik Pesantren terkenal di Jawa Tengah. Ia terlahir dalam keluarga yang penuh akan peraturan-peraturan yang mengekang. Hingga membawanya menjadi penentang dalam keluarganya. Ia mencoba mencari kebebasan diluar yang membawanya menjadi perempuan luar biasa.
“ Anisa kemana abi???” Tanya gus Faris kepada kiyai Amar
“ Tadi keluar…. Endak tau kemana”. Jawab kiyai Amar
“ Kenapa abi mengizinkan, sudah ngerti anak itu nakalnya masyaallah, bi”.
“ Biasa anak-anak nakal, ris”. Jawabnya santai
“ Abi ini….” Gus Faris beranjak
“ Lihat Anisa?”
“ Mboten gus” jawab seorang santri “ lihat Anisa?” “ Mboten”
sekian banyak santri yang ditanya tak satupun yang mengetahui kemanakah Anisa.
“ Kemana anak ini”. Ucap gus Faris geram. Beliaupun mencoba mencarinya ke sawah. Terlihat Anisa yang tengah duduk sembari membaca buku. “ Anisa…” teriak Gus Faris. Anisa pun terkejut “ Abi,..” Gus Faris menghampiri “ Ayo pulang, “ Endak abi, Anisa masih ingin di sini. Anisa bosan ada di rumah terus, bi”
“ Kamu ini, ayo pulang kamu mau jadi apa, nis. Selalu saja menentang abi, masak seorang ning seperti ini. Brutal pencilak an”.
“ Abi, Anisa endak pencilak an. Anisa hanya mencari hiburan saja, bi”.
“ Apa itu kalo gak pencilak an, ini lagi buku apa yang kamu baca. Buku gak penting, ayo pulang. Kamu itu perempuan”.
“ Kenapa sih, bi perempuan itu dibeda-bedakan. Kenapa perempuan dikesampingkan bi. Dianggap rendah dan tidak diberi hak”. Berontak Anisa “ Anisa…, jadilah seperti almarhum ibumu, nis. Perempuan shalihah yang selalu nurut, bukan pemeberontak seperti ini”.
“ Faris….!!!” Tiba-tiba Kiyai Amar datang.
Gus Faris menoleh “ Anisa jangan dimarahi terus, ris!!!” ucap Kiyai Amar
“ Gimana gak dimarahi, bi. Anak ini keterlaluan”, “perlahan jangan terburu-buru. Sudah pulanglah kamu, biar Abi yang menasihati Anisa”. Gus Farispun pergi. Kiyai Amar mendekati Anisa “ Ayo duduk sama kakek disini”. Ajak Kiyai Amar, duduklah Anisa disampingnya. Namun tak satupun kata yang terucap dari sang kakek “ Kakek marah ya sama Anisa???” sang kakek hanya tersenyum “ Kalau kakek marah sama Anisa, kenapa kakek diam saja. Kenapa tidak memarahi Anisa”.
“ Setiap orang punya kesalahan nduk. Namanya saja manusia, kakek boleh bertanya pada nisa?” Anisa mengangguk “ Kamu bosan ya di rumah?” “ Iya”
“ Perempuan itu tiang Negara, jika wanitanya baik Negara itu juga baik. Namun kalau wanitanya buruk Negara itu pun akan buruk, bahkan roboh. Dalam islam wanita itu dihargai dan dilindungi, jangan pernah mengira Allah itu tidak memberikan hak kepada seorang perempuan”.
“ Tapi kenapa seorang perempuan tidak boleh keluar, tidak boleh bebas?”
“ Ya itu, wanita itu dilindungi. Takutnya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan”.
“ Memangnya salah, dan sehina itukah kek wanita yang bebas diluar dan berkarya diluar”.
“ Kata siapa? Boleh wanita itu berkarya dimana saja, kakek tau kamu suka menulis. Kakek sering baca tulisan-tulisan nisa di kamar. Dan kakek mengerti….,” belum selesai sang kakek berbicara datanglah Fahri “ Assalamu’alaikum”
“ Wa’alaikum salam, da apa Fahri???”
“ Ada tamu kiyai”.
“ Oh ya…” Kiyai Amar beranjak, Anisa menatap Fahri yang tak lain masih kerabat kakeknya yang menimba ilmu di pesantren tersebut. Fahri menghampiri Anisa “ Kenapa lagi? Dimarahi lagi?” Anisa mengangguk
“ Emmm…”
“ Kak, presepsi orang-orang tentang perempuan sedemikian rendahnya”.
“ Memang perempuan pada hakikatnya hanya diam di rumah, namun semua itu bisa berubah seiring waktu. Karena Allah tidak akan mengubah suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya”. Fahri tersenyum
“ Jadi kalau begitu perempuan juga boleh bebas”.
“ Boleh bebas tapi dalam tanda kutip, bisa menjaga diri dengan kebebasan itu”.
“ Kak, kakak jadi ke Kairo?”
“ Jadi, dan kamu belajar yang rajin jangan mengecewakan kakek, abi, dan almarhum umi kamu. Dan perlihatkan pada kakak sepuluh tahun lagi kamu akan menjadi perempuan hebat”.
“ Kalau kakak pergi, siapa lagi yang akan jadi teman curhat Anisa ketika dimarahi abi”.
“ Kakak selalu ada, meski kakak jauh. Dan kakek kamu lah yang akan mengerti semua itu, nis”.
“ Anisa sayang kak Fahri, Anisa akan selalu merindukan kakak”. Fahri tersenyum.
            Lima tahun kemudian, “ Anisa kamu mau kemana?” Tanya sang kakek. “ Anisa mau ke kantor pos, kek”. Jawabnya
“ Kirim surat ke kak Fahri lagi???”
“ Iya, kek. Kakek kok tau?” sang kakek hanya tersenyum.
“ Ya sudah kek, Anisa berangkat ya”.
“ Iya hati-hati, sama siapa nduk?”
“ Sendiri saja, kek” jawabnya “ Jangan,… ngajak mbak-mbak di belakang sana. Nanti dimarahi abi lagi lho”.
“ Alah gak papa, kek. Anisa udah kebal sama abi, itu sudah jadi makanan sehari-hari nisa, kek”.
“ Hem hem hem” terdengar suara sang Ayah
“ Abi… kek Anisa berangkat ya sudah siang, Assalamu’alaikum”.
“ Waalaikum salam”. Gus Faris duduk di samping Kiyai Amar
“ Jangan terlalu mengekang anak itu”.
“ Kok abi berkata begitu, bukannya dulu abi begitu ketat mendidik adik”.
“ Dia berbeda dengan bibinya, dulu abi seperti itu pada Aisyah karena dia memang cocok. Dan satu lagi dia mudah terbawa teman. Tapi kalau Anisa dia tidak bisa, anak itu punya pemikiran yang luas, ris. Dan dia tidak akan mudah terpengaruh orang lain”.
“ Tapi hal itu yang menjadikannya kurang ajar, bi”.
“ Itu karena kamu tak pernah mau mengerti dia”. Kiyai Amar beranjak dari tempat duduknya.
            Di tengah rerimbunan orang terlihat Anisa dan Fara. “ Ukhty, sering sekali kamu mengirim surat untuk kang Fahri?”
“ Iya tah, kan Cuma kak Fahri yang mengerti aku”.
“ Seolah dia udah jadi bagian dari hidupmu ya”.
“ Emmm, nama kak Fahri udah terukir didalam kalbuku, far”.
“ Gimana kalau seumpama dialah pangeranmu, nis?”
“ Ha ha ha, memang itu yang aku mau”. Anisa tertawa
“ Wah dasar……”
Anisa mengangkat bahunya sambil tersenyum. Dan mereka melanjutkan perjalanan. Di tengah-tengah perjalanan Anisa berhenti “ Kenapa berhenti???”
“ Nonton Film yuk… bagus kayaknya, Far”.
“ Gak mau ah, haram nis”.
“ Kata siapa, udah ayo…” tiba-tiba datanglah Irfan “ Assalamu’alaikum, nisa”
“ Wa’alaikum salam”
“ Ngapain kamu ada di sini?”
“ Memangnya masalah buat kamu”. Jawab Anisa sinis
“ Cepat pulang kamu itu perempuan, jangan keluyuran terus”.
“ Ngapain kamu ngatur-ngatur aku”.
“ Berhak aku untuk melarangmu, karena kamu calon istriku”.
“ Jangan sembarangan ya kalau bicara”. Ucap Anisa marah
“ Siapa yang sembarangan, lihat aja nanti. Tidak apa-apa kamu seperti itu padaku, nis. Aku percaya cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya”.
“ Tau ah, ayo Far …” Anisa pergi meninggalkan Irfan
“ Assalamu’alaikum”.
“ Wa’alaikum salam, nisa nisa”. Irfan menggeleng-geleng.
            Seminggu kemudian, terlihat dari kejauhan seorang pak pos yang memasuki gerbang Pesantren. Anisapun dengan cepat mengahampirinya “ Pak, surat buat saya ada?”
“ Iya ini neng”.
“ Terimakasih pak”. Secepatnya ia membuka surat itu “ Alhamdulillah aku diterima”. Teriaknya, semua mata tertuju kepadanya terheran. “ Monggo…!!!” semua mengangguk. Secepat mungkin ia memberitahukannya kepada sang Ayah. “ Abi Abi…”
“ Assalamu’alaikum nisa..” bentak sang Ayah.
“ he he afwan, bi”.
“ Ada apa???” ia memberikan surat itu pada sang Ayah “ Ini, bi!!”
“ Apa ini???” tanyanya tak mengerti. “ Buka aja bi!!!” di bukalah surat itu
“ Apa… Universitas Indonesia? Kamu mau kuliyah di sana, Abi tidak mengizinkan…” dilemparnya surat itu. “ Abi hanya mengizinkan kamu kuliyah diSTAI”.
“ Anisa bosan, bi. MI MTs MA di sini terus, sekarang kuliyah juga harus di sini. Gimana Anisa mau jadi sukses kalau pengalamannya itu itu terus. Sekali saja abi setuju dengan kemauan Anisa. Abi selalu egois, hanya memikirkan diri abi saja. Tidak pernah peduli dengan keinginan Anisa”. Anisa masuk ke kamarnya dan mengkuncinya rapat-rapat “ Kenapa lagi???” Tanya Kiyai Amar yang baru saja tiba. Gus Faris hanya diam, diambillah surat itu oleh Kiyai Amar dan dibacanya “ Ooo karena surat ini…” beliaupun menghampiri Anisa di kamarnya “ Anisa buka pintunya, ini kakek. Kakek mau bicara sebentar saja sayang”. Dibukalah pintu kamar itu.
“ Anisa beneran mau kuliyah di UI ???”
“ Iya kek, Anisa pingin banget bisa kuliyah di sana”. Jawabnya dengan mata yang berlinang. Sang kakek mengusap air matanya dan berkata “ Orang tua melarang itu wajar, karena dia sayang kepada anaknya. Apalagi kamu anak satu-satunya abi kamu. Janganlah mengira Abi kamu tidak sayang kepadamu nduk. Dia sayang sekali denganmu, tapi jika keinginanmu seperti itu, berangkatlah nak. Raihlah apa yang kamu mau, kebebasan yang kamu inginkan. Bebas bukan berarti brutal, tapi bebas yang bermanfaat jangan kecewakan kakek. Dan jangan rusak citra Pesantren dengan kebebasanmu itu”.
“ Benarkah, kakek mengizinkan Anisa kuliyah di UI?” sang kakek mengangguk.
“ Terimakasih kek. Anisa janji tidak akan mengecewakan kakek tapi akan membuat kakek bangga”. Dipeluklah sang kakek.
            Sebulan kemudian, Anisa terheran dengan kedatangan keluarga Irfan ke Pesantren. Terlihat sang ayah dan sang kakek yang tengah berbincang-bincang dengan keluarga Irfan. Dipanggilah Anisa oleh sang ayah “ Anisa kemari, nak” Anisa pun keluar “ Ini putri saya kang”.
“ Ooo ini to yang namanya Anisa yang selalu Irfan ceritakan itu?” Irfan mengangguk
“ Cantik sekali…” ucap ibu Irfan
“ Gimana gus, seandainya kita berbesan?” gus Faris melihat Anisa. Namun anisa terlihat geram dan menolak. Setelah Irfan dan keluarganya pulang Anisa pun memberontak “ Anisa maunya kuliyah, bukan nikah abi”.
“ Jika kamu tidak mau abi tidak akan pernah mengizinkanmu kuliyah”.
“ Pokoknya Anisa tidak mau…”
“ Anisa…”
“ Sudah sudah, kalau tidak mau jangan dipaksa, ris”. Ucap Kiyai Amar
            Keesokan harinya, hari itu adalah waktu di mana Anisa berangkat ke Jakarta untuk mengukir jutaan impiannya “ Kakek, aku berangkat ya, doakan Anisa selamat sampai tujuan”.
“ Doa kakek selalu menyertaimu, nak. Hati-hati jaga dirimu baik-baik ya di sana”.
“ Insyaallah kek. Assalamu’alaikum”
“ Wa’alaikum salam”
Dimulailah apa itu kebebasan. Seminggu sebelum ia berangkat ia menyempatkan mengirim surat kepada Fahri. Fahripun membacanya

Semarang ,24 September 2007
            Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bagaimana keadaan kak Fahri di Kairo? Semoga dalam keadaan baik-baik saja
Anisa seminggu lagi akan berangkat ke Jakarta untuk melanjutkan belajar Nisa di UI.
Anisa senang sekali, kak. Anisa bisa menyongsong apa yang menjadi impian Nisa. Kakak benar di sini yang bisa mengerti Anisa hanya kakek setelah kakak. Doakan Anisa bisa menjadi wanita luar biasa seperti yang kakak harapkan.
Dan Anisa sangat merindukan kak Fahri, ingin rasanya Anisa bersama kak Fahri lagi seperti dulu. Dalam hati Anisa selalu terukir nama kak Fahri motivator dalam hidup Nisa. Anisa selalu menanti kak Fahri.
Anisa tunggu balasan suratnya, kak………
Wassalam                                                                  Tertanda
                                                                                    Anisa Firdausi
Fahri tersenyum membaca surat itu “ Anisa dalam hati kak Fahri juga hanya terukir nama Anisa bukan orang lain. Dan kakak juga sangat merindukanmu. Biarlah waktu yang berbicara dan mempersatukan kita”.
            Empat tahun Anisa di Jakarta, begitu banyak pemikiran-pemikiran yang ia curahkan dalam tulisan hingga menghasilkan beberapa buku yang luar biasa. Setiap buku yang ia terbitkan, ia selalu mengirimkannya kepada Fahri. Empat tahun yang tak terasa ternyata mampu membawanya menjadi wanita luar biasa. Dan disegani banyak orang. Dan suatu ketika ia mendapat telpon dari pesantren bahwasanya sang kakek dalam keadaan sakit parah. Ia pun sesegera mungkin pulang ke Semarang. Di kala itu pula Fahri juga kembali ke Semarang. Karena ia sudah selesai menempuh pendidikannya di Kairo.
            Awan yang terlihat menghitam seolah menaruh kesedihan yang mendalam. “ Kakek,sakit apa, bi?” sang ayah hanya diam karena masih menaruh rasa marah kepada Anisa. “ Biasa kakek sudah tua, nduk”. Jawab kakek lirih.
“ Kebebasan seperti itu yang kamu kowar-kowarkan. Sampai gak ingat keluarga”. Sang Ayah beranjak.
“ Sudah, jangan hiraukan abimu, kakek bangga sama kamu nak. Kamu sudah memperlihatkan pada kakek hasil dari kebebasan itu. Bebas berpikir dan bebas bergerak meraih bintang”. Kakek tersenyum.
“ Terimakasih kek”.
“ Sudah punya calon???” Tanya sang kakek bercanda
“ Apa sih kek, belum”.
“ Masak belum, jangan bohong. Kakek itu tau kamu itu suka sama siapa”.
“ Ah kakek jangan ngarang”.
“ Itu orangnya”. Terlihat Fahri yang berdiri di depan pintu. Anisa hanya tersipu malu begitu pula dengan Fahri.
            Di bawah sinar rembulan terlihat Anisa dan Fahri yang terpisah oleh tiang yang berdiri kokoh di depan Masjid. “ Anisa, bolehkah saya jujur tentang sesuatu?” Tanya Fahri sedikit ragu
“ Iya kak, silahkan”.
“ Sungguh aku sangat rindu kepadamu, nis”.
“ Anisa juga, sepuluh tahun kita tidak bersama”.
“ Anisa, sejujurnya dalam hatiku tak ada nama selain namamu. Dan bolehkah aku menjadi bagian dari hidupmu yang senantiasa bisa menjagamu dan menemanimu. Aku sangat mencintaimu, nis. Bolehkah aku melamarmu untuk menjadi kekasihku? Kamu tak perlu menjawabnya sekarang”.
“ Untuk apa aku mengulur waktu lebih lama lagi, penantianku sudah cukup lama. Dan selama itu aku mencoba bersabar untuk dapat kembali bersama kakak lagi”.
“ Jadi…?”
“ Jadi Nisa terima permintaan kak Fahri”.
Malam itu seolah penuh bunga yang begitu harum menyelimuti dua insan penuh cinta.
            Tiga bulan kemudian Anisa dan Fahripun melangsungkan pernikahan. Anisa terlihat begitu menawan dibalut gaun pengantin. Nampak pula Fahri yang begitu tampan dengan jas yang dikenakannya.
“ Semoga kalian menjadi keluarga sakinah mawadah dan warahmah”. Doa sang kakek
“ Amin”
“ Jadilah wanita shalihah seperti almarhum ibumu nisa. Dan maafkan abi karena selalu memarahimu”. Sang Ayah mencium keningnya.
“ Iya Abi, Anisa juga minta maaf selalu membuat abi marah”.
Kebahagian menyelimuti keduanya. Apalagi setelah kedatangan seorang buah hati yang mungil dan lucu. 
            Tiga tahun lamanya usia pernikahan mereka. Fahri mendapat kontrak kerja di Yogyakarta  selama sebulan “ Kak, kakak mau pakai motor?”
“ Iya, soalnya praktis dan cepat nyampek ke tempat tujuan”.
“ Pakai kendaraan umum lebih aman kak”.
“ Gak papa…”
“ Ya sudah terserah jenengan saja”. Fahri pun berangkat “ Anisa, apapun yang terjadi aku akan selalu ada bersamamu”. Anisa tersenyum.
“ Anisa juga akan senantiasa bersabar menanti, dan tak akan berpaling. Karena dalam hati ini hanya terukir namamu. Dan dalam setiap sujudku akan selalu terukir namamu”.
“ Assalamu’alaikum”
“ Wa’alaikum salam”
Di tengah perjalanan Fahri merasakan lelah dan mengantuk hingga membawanya terjatuh. Saat ia mencoba berdiri terlihat mobil yang melaju dengan cepat dan menabraknya.
            Tak pernah terbayangkan kapankah maut akan menghampiri. Saat maut telah menghampiri tak satupun orang yang mampu menghindar. Terlihat jasad Fahri di atas pembaringan yang mengkaku dan kerumunan orang yang tengah membacakan tahlil di sampingnya. Anisa datang dengan menggendong sang anak dengan air mata yang membanjiri wajahnya. Sang Ayah pun memeluknya “ Begitu cepat kau meninggalkanku”.
“ Sabar ya nduk, semua sudah menjadi kehendak-Nya”.
            Dua bulan kemudian, belum sembuh rasa sedih ditinggal sang suami. Ia harus kehilangan sang kakek tercinta. Sang kakek meninggal saat ia bertugas di Kudus. Sakit rasanya dua orang yang begitu menyayanginya telah meninggalkannya dan tak kan pernah kembali.
“ Irham kamu jangan nakal ya. Jadilah anak yang baik seperti abimu dan kakek buyutmu ya nak”.
“ Abi itu seperti apa Umi?”
“ Abi itu orangnya baik, dia sangaaaaat  menyayangi umi. Dia orang yang selalu mengerti umi begitu pula dengan kakek buyut”.
“ Kalau kakek umi”.
“ Kakek juga baik, kakek sangat sayang sama umi. Dan selalu melindungi umi”.
“ Tapi kenapa umi sering menceritakan kakek buyut sama abi saja”.
“ Heeeeeem, …..” tiba datanglah sang Ayah.
“ Lho cucu kakek ngapain? Ayo main dengan kakek”. Ajak gus Faris. Dan di gendonglah Irham.
            Kebebasan bukanlah sebuah wadah untuk pemberontakan. Namun kebebasan adalah sebuah wadah menuju kesuksesan. Saat kau bebas berfikir di sanalah kesuksesan menanti anda. Dan jika kau bebas berkarya di sanalah terlihat cahaya terang yang siap menghampiri anda.
Dan hanya cinta yang suci yang mampu terukir dalam hati yang hening. Dan tak mampu terkikis oleh ribuan ombak yang menerpa.




HERWININGSIH

2 komentar:

  1. Wueehhh... sudah tambah lagi tulisannya. mantap, mantap....

    BalasHapus
  2. hehe kan minimalnya kan sebulan pak...
    lebih banyak gak papa kan :D

    BalasHapus

Instagram